Aku memang sudah mendengar desas-desus tentang rencana kepergiannya ke Canada, tapi aku menolak tuk percaya. Aku ingin mendengar sendiri, langsung dari bibirnya. Kulangkahkan kaki menuju balkon, menghampirinya yang sedang berdiri mematung menatap langit yang bertabur bintang di depan sana.
'Apa yang kau lihat, Di?" tanyaku basa basi sambil ikut memandangi langit. Dian hanya terdiam sambil sesekali menarik napas panjang.
"Indah ya langit malam ini," ujarku kembali memecah keheningan. Ah, langit di atas sana memang sangat indah malam ini, namun tidak hatiku dan hatinya.
"An, dua hari lagi aku berangkat ke Canada," ujar Dian pelan tanpa memandangku sama sekali.
"Aku dapat beasiswa S2 ke Canada dari perusahaan tempatku bekerja sekarang," ujarnya dengan suara bergetar.
Kutatap nanar dirinya, seakan tak percaya dengan pendengaranku. Gemerlap bintang di langit sana seketika meredup. Angin pun terasa semakin dingin, menusuk hingga ke dasar jiwaku. Perih.
Kucoba mengatur napas yang mulai tersengal. Bahkan bibirku pun mulai kelu, meski banyak sekali yang ingin kuucapkan.
Aku sungguh tak menyangka kalau akhirnya Dian mengambil keputusan ini. Setelah bertahun-tahun mereka bersama, perpisahan seperti ini terasa begitu menyesakkan. Meski ia sudah bisa menebaknya. Ia tahu pasti, bahwa melanjutkan S2 ke luar negeri adalah impian Dian sejak lama.
Lantas, haruskah aku begitu egois dengan mencegahnya pergi. Mana mungkin aku tega melakukannya. Aku telah melihat, bagaimana Dian bekerja begitu keras untuk menggapai semua mimpi-mimpinya itu sejak di bangku SMA dulu. Meski berat, namun memilih diam dan mengikhlaskannya pergi adalah pilihan yang terbaik.
Pikirku seketika melayang ke masa-masa SMA dulu, ketika pertama kali aku bertemu Dian. Gadis manis berkulit putih, yang berdiri di gerbang sekolah pagi itu. Senyum dan juga binar matanya saat itu meluluhkan hatiku hingga berkeping-keping. Dian Ariesta, begitu nama yang tertulis pada nametag yang tersemat di dadanya. Aku langsung saja mengajaknya berkenalan dan sejak saat itu kami pun berteman dekat.
Benih-benih cinta tumbuh subur sejak awal kami berjumpa, namun gayung baru bersambut setelah kami lulus sekolah dan masuk kuliah. Enam tahun sudah kami bersama dan menjalin kasih, namun kini harus berakhir dengan sebuah perpisahan yang tak terelakkan.
Gadis lugu yang kukenal dulu di gerbang sekolah, tak lagi sama dengan gadis yang kini ada dihadapanku. Berkali-kali kutawarkan tuk meraih mimpi bersama, namun berkali-kali pula ia menolak.
"Aku ingin meraih mimpi ini dengan usahaku sendiri. Kau tahu itu dengan pasti, An. Bukannya aku menolak bantuanmu, tapi aku tak ingin jadi orang yang memanfaatkan kebaikanmu. Orang miskin seperti aku ini, hanya memiliki harga diri dan juga mimpi. Jadi tolong mengertilah. Aku sudah melangkah sejauh ini, sedikit lagi ... hanya sedikit lagi, mimpi itu kan jadi kenyataan," begitu ujarnya beberapa bulan lalu. Dan yah, mimpi itu kini jadi kenyataan dan menghancurkan mimpiku.
***
"An, Andi ...!" Panggilan Dian memecah lamunanku seketika.
"Ah, iya. Ada apa, Di?" ujarku gelagapan.
"Bagaimana?" ucap Dian sambil menatapku sendu. Aku hanya menggeleng lemah.
"Kau ingin aku jawab apa? Aku tak punya jawaban apapun, Di," ujarku pelan. Binar di mata Dian meredup. Ingin sekali kumemeluknya, menenangkan hatinya yang saat ini gundah. Desah napas kami berdua bahkan terdengar begitu jelas dan saling bersahutan, seolah-olah sedang melagukan kesedihan yang tak berujung. Aku sama sekali tak berdaya.
"Pergilah. Kejar mimpimu," ujarku sambil membelai lembut jari jemarinya yang terasa dingin. Airmatanya pun mulai luruh membasahi pipi.
"Jangan menangis, Di. Kau hanya akan mempersulit langkah kakimu nanti. Jangan menengok lagi ke belakang. Untuk meraih sesuatu, harus ada yang dilepaskan. Kau harus memilih dan aku ingin kau memilih mimpimu." Ucapku sambil mengusap lembut pipinya yang basah. Kurengkuh dan kupeluk erat tubuh mungilnya yang mulai bergetar. Isak tangisnya pun mulai pecah.
Di, kamu wanita paling kuat yang kukenal. Jika saat ini menangis buatmu lega, maka menangislah. Tapi setelah itu tegakkan kepalamu dan melangkahlah kembali. Jangan menengok lagi ke belakang," ujarku menguatkan hatinya.
"An, tak bisakah kita ...?" Ucapan Dian menggantung
"Sssttt, sudahlah." Ujarku sambil menyentuh lembut bibirnya.
"Aku ingin kau fokus dengan pekerjaan dan juga kuliahmu di sana. Aku tak ingin hubungan ini menjadi beban buatmu."
"Kau benar-benar keras kepala, An," ucap Dian sambil terisak.
"Kita berdua sama, Di. Tapi kau suka kan," candaku sambil tersenyum getir.
"Lalu, hubungan kita?" tanya Dian dengan tatapan penuh tanya.
"Hmm ... kamu tahu kan, aku nggak suka LDR-an. Terlalu menyiksa rasanya memendam rindu tanpa temu. Aku tak ingin menjalani sebuah hubungan yang hanya akan menjadi beban tuk kita berdua nantinya," ujarku sambil membelai lembut pipinya yang basah.
"Jadi maksudmu, hubungan kita selesai sampai di sini," tanya Dian dengan suara bergetar.
"Apa menurutmu masih ada jalan lain?" ucapku sambil menggelengkan kepala. "Jangan pikirkan yang lain, selain mimpimu, Di. Jika memang jodoh, pasti takkan kemana." Ujarku sambil menatapnya lekat.
Tak ada lagi kata yang terucap dari bibir kami berdua malam itu. Hanya pelukan hangat yang tersisa tuk saling menguatkan satu sama lain.
***
(3 tahun kemudian)
Reuni Akbar SMK Pelita malam ini benar-benar diluar dugaan Andi. Sosok perempuan yang selama ini selalu lekat diingatannya. Yang selalu hadir menghiasi mimpi-mimpinya setiap malam, tiba-tiba muncul tepat di hadapannya.
"Hai, An," sapa Dian sambil tersenyum manis. Sangat manis. Ia bahkan terlihat semakin cantik.
"Di, Dian .... Hai!" Ujarku gelagapan.
"Surprise!" ujar Dian sambil tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangannya.
Jantungku seketika berdegub kencang, melonjak-lonjak kegirangan. Ada rindu yang membuncah dan menggeliat, seolah meminta keluar dari dalam lubuk hati ini. Pelukan hangat itu pun segera mendarat mulus di dadaku. Tanpa basa-basi, Dian merengkuhku begitu erat dan aku pun membalas pelukannya.
"Bagaimana kabarmu, An. Kau terlihat makin ganteng dan keren saja?" Ucap Dian antusias sambil memandangiku dari atas hingga ke bawah sambil berdecak kagum.
"Sangat baik, Di. Tak pernah lebih baik dari saat ini. Dan tentu saja aku makin keren dan ganteng." Ucapku sambil mencubitnya gemas.
"I Miss you so much, An," ucap Dian sambil menatapku lekat.
"I miss you too, Di. Kubenamkan kembali tubuh mungil Dian dalam pelukku. Rasanya tak ingin kulepaskan, namun tubuh mungilnya dengan cekatan menggeliat keluar dari pelukku.
"Sendiri?" tanya Dian sambil melirik kanan kiri.
"Iya, sama siapa lagi," jawabku singkat sambil tersenyum.
"Sama pacar atau mungkin sama isteri," ujar Dian penuh tanya.
"Hahaha .... Aku ini cowok setia loh, Di. Kalau sudah cinta sama satu cewek, susah untuk move on. Lagi pula kalau aku sudah punya pacar lain ataupun isteri, mana mungkin aku berani peluk-peluk kamu seperti ini. Kamu sendiri bagaimana?" tanyaku penasaran.
"Same with you. An, maaf ya. Maaf, sudah membuatmu menunggu begitu lama," ucap Dian dengan mimik wajah penuh penyesalan. Aku menggeleng.
"Don't say that, dear. Aku tak pernah menyesal menunggumu selama ini. Sekarang, apa kau sudah siap tuk memulainya kembali?" tanyaku. Dian pun mengangguk mantap lalu kembali memelukku dengan erat.
"Apa kau marah padaku?" tanya Dian tiba-tiba. Aku pun terhenyak.
"Mengapa bertanya seperti itu. Apa kau pikir aku marah padamu selama ini. Apa kau pikir aku seperti itu? Sudah berapa lama kau mengenalku? Sudah berapa lama kita bersama? Apakah kau pikir, aku bisa berlama-lama marah padamu?" Ujarku dengan nada sedikit kesal. Dian pun menggeleng pelan.
"Maaf. Hanya saja selama ini aku menyimpan penyesalan dan juga rasa bersalah karena telah meninggalkanmu demi mengejar mimpiku. Kau pastilah sedih dan kecewa padaku," ucap Dian lirih.
"Di, aku memang sempat merasa sedih dan kecewa saat itu. Tapi sekarang, tidak lagi. Aku minta maaf, karena telah memutuskan hubungan denganmu secara sepihak dan membuatmu berada pada pilihan yang sulit ketika itu. Sekarang, mari kita lupakan masa lalu dan mulai kembali lembaran yang baru." Ujarku sambil menatap lekat kedua netranya yang berbinar indah.
"Let's start a new beginning ... A new dream together!" Ujarku pelan di telinganya sambil mengecup lembut keningnya.
***
Aaaah. So sweeeet. Btw, tulisannya apik sekali, Akak. Sangat sukaaaa❤️
BalasHapusTerima kasih sudah suka 🙏❤️
Hapus