- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sari, Si Gadis Kursi Taman.
Penulis: Ika Ledjaph
Pagi ini, aku terbangun dengan kepala berat dan juga tubuh lunglai. Jarum jam menunjukkan angka sebelas—angka yang terlalu tinggi untuk bisa disebut pagi.
Aku memandang keluar kamar. Kembali kulihat gadis itu sedang duduk di bangku taman yang sama seperti hari-hari kemarin.
Sudah seminggu ini kulihat ia duduk di sana. Kebetulan kamarku menghadap ke arah taman depan rumah, sehingga tanpa sengaja aku pun selalu melihatnya. Sepertinya dia bukan warga komplek sini, karena aku mengenal hampir semua warga di sini.
Aku buru-buru keluar kamar dan mandi. Ada jadwal kuliah siang ini dan aku harus segera siap-siap sekarang kalau tidak mau terlambat dan kena omelan Pak Harris, si dosen killer itu. Kalau sampai telat, aku bisa diusir keluar olehnya.
Aku siapkan motor Honda bebekku dan melesat dengan kecepatan penuh. Kembali kulihat gadis itu masih duduk di taman, di kursi yang sama. Aku begitu penasaran, hingga akhirnya kuhentikan laju motorku dan menghampirinya.
"Maaf, sepertinya kamu bukan warga komplek sini ya?" tanyaku.
"Hmm, iya Kak. Saya tinggal di seberang situ,” ujarnya sambil menunjuk salah satu rumah yang ada persis di samping taman.
"Oh, kamu tinggal di rumah Pak Dirso?" ujarku.
"Iya kak, betul. Pak Dirso itu …,” ucapannya tiba-tiba terhenti.
“Aku baru saja datang dari Jogja seminggu yang lalu,” ujar gadis itu.
"Oh pantas, soalnya aku nggak pernah lihat kamu di sekitar sini,” ujarku.
“Oh ya, aku melihatmu duduk di taman ini setiap pagi, bahkan sampai berpanas-panasan begitu. Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Iya kak. Aku lagi berjemur. Ada masalah dengan kakiku, entah kenapa,” ujarnya sambil tersenyum manis.
"Oh gitu, memangnya kakimu kenapa?" tanyaku penasaran.
"Entahlah, aku sendiri nggak tahu sakit apa. Kadang kaki ini terasa sakit banget, sampai sulit berjalan. Bukan hanya kaki, tapi juga seluruh tubuhku,” ujarnya dengan wajah sedih.
“Oh ya, aku Iqbal. Namamu siapa?” tanyaku.
“Sari. Namaku Sari, kak,” ucapnya sambil menyodorkan tangan, yang kemudian kusambut dengan genggaman lembut. Seketika getar hangat mengalir, menelusup masuk hingga ke rongga dadaku.
"Ah, senang berkenalan denganmu,” ujarku sambil tersenyum senatural mungkin, menutupi rasa grogiku.
“Lain kali kita ngobrol-ngobrol lagi ya. Aku tinggal di depan situ,” ujarku sambil menunjuk ke arah rumahku yang berada di depan taman.
“Dah … Sari,” ujarku sambil melambaikan tangan dan kemudian melarikan motorku dengan kecepatan maksimal. Untunglah aku sampai di kelas tepat sebelum pak Haris masuk. Namun sepanjang mata kuliah aku sama sekali tidak bisa konsentrasi. Pikiranku melayang memikirkan Sari, si gadis yang duduk di kursi taman tadi. Entah mengapa, pikiranku ini tak bisa lepas darinya. Aku merasa begitu iba sekaligus penasaran padanya. Ada raut kesedihan tergurat di wajahnya, tiap kali aku memandangnya dari dalam kamarku. Semoga saja pengobatannya berjalan lancar dan ia bisa kembali pulih seperti sedia kala. Sari sungguh gadis yang cantik dan juga punya senyum yang sangat manis.
“Akh, kenapa pikiranku malah jadi ke situ. Sebenarnya aku ini iba atau naksir sih? Ternyata benar kata pepatah ‘dari mata turun ke hati’, sepertinya aku memang telah terkena panahnya,” gumanku dalam hati sambil senyum-senyum sendiri.
Keesokan paginya, Sari tak terlihat di kursi taman itu. Mungkin saja ia sedang ke rumah sakit untuk pengobatan kakinya itu.
Ingin sekali aku mampir ke rumah pak Dirso dan menanyakan keadaan Sari, tapi rasanya tak enak. Jadi kuputuskan menunggu hingga keesokan harinya, namun Sari masih juga tidak muncul di sana. Rasanya seperti ada yang hilang di hatiku, ketika tak melihatnya. Aku merasa khawatir dan perasaanku pun mulai tidak enak. Akhirnya, siang itu kuputuskan untuk mampir dulu ke rumah pak Dirso sebelum berangkat ke kampus.
"Mas Iqbal, mau cari siapa?" tanya Bi Sumi.
"Sari ada, Bi?" tanyaku.
"Mba Sari di rumah sakit, Mas. Sudah tiga hari dirawat di rumah sakit. Di rumah kosong, hanya ada bibi saja,” jawab Bi Sumi.
"Sari sakit apa sebenarnya, Bi?" tanyaku penasaran.
"Kanker tulang, Mas Iqbal,” jawab Bi Sumi.
"Apa ...!" kataku setengah teriak karena kaget mendengar jawaban Bi Sumi.
“Kok, sepertinya Sari tidak tahu kalau dia menderita kanker tulang, ketika beberapa hari lalu kutanya,” ujarku pada Bi Sumi.
"Sari, memang tidak tahu, Mas. Bapak sama Bu Dirso memang sengaja merahasiakannya dari Sari. Mereka tak ingin Sari semakin stres karena penyakitnya itu. Sari sudah cukup stres selepas kepergian neneknya,” jelas Bi Sumi.
“Sekarang, Sari dirawat di rumah sakit mana, Bi?" tanyaku.
"Di Rumah Sakit Graha Medika, Mas. Lantai 2, ruang 205,” ujar Bi Sumi.
"Oke Bi, terima kasih ya,” ujarku.
Secepat kilat aku meluncur menuju ke RS.Graha Medika. Kulihat Sari sedang tertidur pulas, sementara Bapak dan Ibu Dirso sedang duduk di samping tempat tidurnya. Pak Dirso memperbolehkanku masuk untuk melihat Sari sebentar.
Kami bicara tentang kondisi Sari yang sebenarnya. Bahwa sebenarnya ia sudah menderita sakit cukup lama sejak di kampung, namun ia memilih diam. Yang paling mengagetkan adalah ternyata Sari sebenarnya adalah anak dari Bu Dirso dengan suaminya yang terdahulu. Ibunya Sari berpisah dengan mantan suaminya ketika Sari baru berumur tiga tahun, lalu merantau ke Jakarta dan menikah dengan Pak Dirso 15 tahun yang lalu. Selama ini, Sari tinggal di kampung bersama neneknya.
"Apa Sari tahu, bahwa Bu Dirso adalah ibunya?" tanyaku penasaran.
Pak Disrso mengangguk pelan dengan wajah sedih.
"Sari tahu, namun ia memilih tetap tinggal bersama neneknya. Ia membenci ibunya karena ia merasa telah ditinggalkan,” jelas Pak Dirso.
"Lalu sekarang kemana neneknya Sari?" tanyaku lagi.
"Neneknya Sari meninggal dunia dua minggu lalu. Karena itulah kami membawa Sari ke Jakarta. Sekaligus juga hendak memeriksakan penyakit yang ia derita,” jelas Pak Dirso.
"Saya turut berduka atas meninggalnya neneknya Sari, mertua Bapak,” ujarku.
Pak Dirso mengangguk dan tersenyum
"Bagaimana kondisi Sari sekarang?"
"Menurut dokter, ia mengidap kanker tulang stadium akhir. Kondisinya pun semakin lemah. Kankernya sudah mulai menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga terjadi komplikasi. Dokter akan tetap mengusahakan yang terbaik untuk Sari,” begitu ujar pak Dirso.
“Kemarin Sari sudah melakukan kemoterapi, namun kondisinya semakin lemah. Dia tiba-tiba tak sadarkan diri. Pagi ini baru saja tersadar, namun dokter sengaja memberinya obat tidur agar ia bisa beristirahat. Kondisi mentalnya saat ini semakin turun. Belum selesai ia berduka atas kehilangan neneknya, kini ditambah ditambah dengan sakit yang dideritanya. Ia jadi merasa sangat putus asa. Sari seperti tidak punya semangat untuk hidup lagi. Kami pasrahkan hasilnya kepada Tuhan. Semoga ada mujizat dariNya,” ucap pak Dirso dengan sedih.
"Nak Iqbal sebaiknya pulang saja".
"Iya pak. Baiklah, saya pamit. Sampaikan salam saya kepada Sari, saat ia bangun nanti.”
***
Malam itu, aku sama sekali tidak bisa tidur karena gelisah memikirkan kondisi Sari. Kupandangi kursi taman yang biasa Sari duduki dari jendela kamarku. Sinar bulan lagi terang-terangnya, tapi tidak dengan hatiku. Aku hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik untuknya.
Aku hanya membolak-balikkan tubuhku di atas pembaringan, mataku enggan tuk terpejam. Perasaanku juga semakin gelisah. Tepat tengah malam, kudengar suara ambulan di depan rumah. Kulihat dari jendela kamar, ambulan itu berhenti di depan rumah Pak Dirso.
Pikiranku jadi makin nggak karuan saat itu. Aku segera berlari keluar menuju rumah Pak Dirso. Dan benar saja, ketakutanku itu. Sari telah pergi untuk selamanya. Pergi meninggalkan ruang kosong yang baru saja ia masuki di hatiku.
Aku memang sempat mendapatkan kabar dari Pak Dirso, sore tadi. Sari tiba-tiba kembali ngedrop dan tak sadarkan diri. Dokter sedang berusaha menggunakan segala cara untuk bisa menyelamatkan Sari, begitu ujar Pak Dirso di telepon tadi.
Tapi kini, takdir berkata lain. Ia harus pergi menyudahi perjalanannya di dunia ini. Menyisakan kenangan indah sekaligus pahit bagiku. Air mataku luruh tanpa henti di depan tubuh kaku Sari malam itu.
“Ia sekarang sudah tak sakit lagi. Sudah bahagia bersama neneknya di surga,” ucap Pak Dirso kepadaku. Aku hanya mengangguk pelan sambil masih meneteskan air mata, tak tahu harus berkata ataupun berpikir apa.
“Akh … Sari, berbahagialah kau di surga sana. Aku pasti akan selalu merindukanmu. Rindu saat-saat aku memandangi wajah cantikmu dari jendela kamarku tiap pagi.”
End_
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar